Kamis, 26 Januari 2012

IBNU QAYYIM AL-JAUZY

REPUBLIKA.CO.ID,
Ia adalah seorang
cendekiawan dan
ahli fiqih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup
pada abad ke-13 M. Disamping itu,
sosoknya juga dikenal sebagai
seorang ahli tafsir, penghapal
Alquran, ahli nahwu, ahli ushul
fiqih, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid. Nama lengkapnya Muhammad bin
Abi Bakar bin Ayub bin Sa'ad Zur'i
ad-Damsyiq, bergelar Abu
Abdullah Syamsuddin. Dilahirkan
di Damaskus, Suriah pada tahun
691 H/1292 M, dan meninggal pada tahun 751 H/1352 M.
Ayahnya, Abu Bakar, adalah
seorang ulama besar dan kurator
(qayyim) di Madrasah Al-Jauziyah
di Damaskus. Dari jabatan
ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diambil. Semasa hidupnya, Ibnu Qayyim
berguru kepada banyak ulama
untuk memperdalam berbagai
bidang ilmu keislaman. Dia
mendalami fiqih mazhab Hanbali,
tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, nahwu, tasawuf, dan ilmu teologi. Ia berguru ilmu hadits pada Syihab
An-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin
bin Sulaiman; berguru ilmu ushul
fiqih kepada Syekh Shafiyuddin Al-
Hindi; berguru ilmu fiqih dari Isma'il
bin Muhammad Al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris
(faraidh) kepada ayahnya sendiri. Namun, di antara sekian banyak
gurunya itu, yang paling
berpengaruh adalah Ibnu
Taimiyah. Ia berguru kepada Ibnu
Taimiyah selama 16 tahun. Ia
merupakan murid Ibnu Taimiyah yang fanatik. Ia mengikuti metode
sang guru untuk menentang dan
memerangi orang-orang yang
menyimpang dari agama. Dalam Ensiklopedi Islam terbitan
Ichtiar Baru Van Hoeve
disebutkan, sebagaimana gurunya,
Ibnu Qayyim sangat gencar
menyerang kaum filsuf, Kristen,
dan Yahudi. Ia juga kerap menyebarluaskan fatwa sang guru
yang berseberangan dengan fatwa
jumhur (mayoritas) ulama. Salah
satunya adalah fatwa yang
melarang orang pergi berziarah ke
kuburan para wali. Karena hal inilah dia kemudian mendekam di
penjara Damaskus dan baru
dibebaskan setelah gurunya wafat. Penguasaannya terhadap ilmu
tafsir tiada bandingnya,
pemahamannya terhadap ilmu
ushuluddin mencapai puncaknya
dan pengetahuannya mengenai
hadits dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya sulit ditemukan
tandingannya. Sehingga dapat
dikatakan ia amat menguasai
berbagai bidang ilmu ini. Karena pengetahuan yang
dimilikinya, Ibnu Qayyim
mempunyai murid yang tidak
sedikit jumlahnya. Di antara murid-
muridnya yang berhasil menjadi
ulama kenamaan adalah Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy penyusun
kitab Al-Bidayah wan Nihayah dan
Ibnu Rajab Al-Hambali al-Baghdadi
penyusun kitab Thabaqat al-
Hanabilah.
Syekh Muhammad
Sa'id Mursi dalam
bukunya yang berjudul "Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah" menulis, Ibnu
Qayyim dikenal sebagai seorang
yang memiliki pengetahuan luas,
pemberani dalam kebenaran, tidak
pilih kasih kepada siapa pun, gemar menunaikan shalat dan
membaca Alquran serta
perangainya baik. Mengenai sifatnya ini, Imam
Syaukani pernah berkata, "Dia
menguasai semua ilmu, disenangi
teman dan termasyhur di antara
para ulama dan memahami
mazhab-mazhab salaf." Ibnu Qayyim juga dikenal sebagai
seorang Muslim puritan yang teguh
pendiriannya dalam
mempertahankan kemurniaan
akidah dan anti-taklid buta. Karena
sikapnya ini, dalam banyak hal ia kerap berbeda pendapat dengan
para tokoh mazhab Hanbali,
termasuk juga dengan pendiri
mazhab itu sendiri, yakni Imam
Ahmad bin Hanbal. Seperti halnya Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim berpendirian bahwa pintu
ijtihad tetap terbuka. Menurutnya,
siapa pun pada dasarnya
dibenarkan berijtihad sejauh yang
bersangkutan memiliki kesanggupan untuk
melakukannya. Karya-Karyanya Selain dikenal sebagai ulama yang
luas dan dalam ilmunya, Ibnu
Qayyim juga termasuk dalam
kelompok pengarang yang sangat
produktif. Tulisannya sangat
bagus, sehingga ia menulis karyanya dengan tangannya
sendiri kemudian dicetak. Taha Abdur Ra'uf, ahli fiqih dan
sejarawan, menuliskan daftar karya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah sebanyak
49 buah yang meliputi berbagai
disiplin ilmu. Di antara karyanya:
Tahzib Sunan Abi Dawud, Safar al- Hijratain wa Bab as-Sa'adatain
(Perjalanan Dua Hijrah dan Pintu
Dua Kebahagiaan), Madarij as-
Salikin (Tahapan-tahapan Ahli
Suluk), Syarh Asma' al-Kitab al-Aziz
(Ulasan tentang Nama-Nama al- Kitab), Zad al-Ma'ad fi Hadyil 'Ibad
(Bekal untuk Mencapai Tujuan
Akhir Seorang Hamba), Naqd al-
Manqul wa al-Mahq al-Mumayyiz
bain al-Mardud wa al-Maqbul (Kritik
terhadap Hadits untuk Membedakan Yang Ditolak dan
Diterima). Karya-karyanya yang lain adalah
Nuzhah al-Musytaqin wa Raudah
al-Muhibbin (Hiburan bagi Celaka
dan Taman bagi Pecinta), Tuhfah
al-Wadud fi Ahkam al-Maulud
(Kehancuran Pecinta dalam Menentukan Hukum-Hukum
Maulid), Miftah Darisi as-Sa'adah
(Kunci bagi Pencari Kebahagiaan),
Tafdilu Makkah 'ala al-Madinah
(Keutamaan Makkah dan
Madinah), Butlan al-Kimiya' min Arba'ina Wahjan (Kebatilan Kimia
dari 40 Aspek), As-Sirat al-
Mustaqim fi Ahkam Ahl al-Jahim
(Jalan Lurus mengenai Hukum-
Hukum Ahli Neraka), dan I'lam al-
Mawaqqi'in 'an Rabbi al-'Alamin (Pemberitahuan tentang Tuhan
Semesta Alam). Red: Chairul Akhmad
Rep: Nidia Zuraya

ISLAM YANG RAMAH

Oleh: KH Said Aqil
Siradj Islam ya Islam. Begitulah ucapan
yang sering terlontar dari sebagian
Muslim. Benar, Islam yang diyakini
dan diamalkan tentu mempunyai
karakteristik yang “paten”.
Walaupun, faktanya pengamalan Muslim beragam sesuai mazhab
yang dianutnya. Ini wajar sebagai
bentuk tafsiran semesta ajaran
Islam. Di sini, yang harus dicatat
adalah bagaimana pengamalan
Islam yang elok, penuh empati, santun, dan tidak melampaui
batas. Kita menyadari bahwa memahami
Islam secara tekstualistik dan legal-
formal sering mendatangkan sikap
ekstrem dan melampaui batas.
Padahal, Alquran tidak
melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang
melampaui batas. Dalam hal ini, ada tiga sikap yang
dikategorikan “melampaui batas”.
Pertama, ghuluw. Yaitu, bentuk
ekspresi manusia yang berlebihan
dalam merespons persoalan
hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran
kemanusiaan. Kedua, tatharruf,
yaitu sikap berlebihan karena
dorongan emosional yang
berimplikasi pada empati
berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, irhab. Ini yang terlalu
mengundang kekhawatiran karena
bisa jadi membenarkan kekerasan
atas nama agama atau ideologi
tertentu. Irhab adalah sikap dan
tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu
dan janganlah kamu mengatakan
terhadap Allah kecuali yang
benar.” (QS al-Nisa’: 171). Idealnya, seorang Muslim harus
mendalami dan memahami ajaran
Islam secara komprehensif, utuh,
hingga ajaran tersebut
memberikan dampak sosial yang
positif bagi dirinya. Seperti disebutkan di dalam Alquran, yakni
mencerna teks-teks ilahiah secara
objektif, hati yang bersih, rasional,
hingga mampu memunculkan
hikmah yang terkandung di
dalamnya. Alangkah kering dan gersangnya
agama ini jika ternyata aspek
eksoterik dalam Islam hanya
sebatas legal-formal dan
tendensinya tekstualistik. Sebuah
ayat tentang jihad, misalnya, akan terasa gersang dan kering apabila
pemahamannya dimonopoli oleh
tafsir “perang mengangkat
senjata”. Padahal, jihad pada
masa Rasulullah merupakan satu
wujud dan manifestasi pembebasan rakyat untuk
menghapus diskriminasi dan
melindungi hak-hak rakyat demi
terbangunnya sebuah tatanan
masyarakat yang beradab. Titik puncak kesempurnaan
beragama seseorang terletak pada
kemampuan memahami ajaran
Islam dan menyelaminya sehingga
sikap arif dan bijaksana (al-hikmah)
bisa tersembul keluar dalam segenap pemahaman dan
penafsiran itu. Di sinilah, perlunya
mengedepankan wajah Islam yang
ramah. Penekanan pada wajah
Islam ini secara metodologi
menyangkut aspek esoteris dari
Islam yang lazimnya disebut dengan pendekatan sufistik. Islam
yang ramah adalah wujud dari
penyikapan keislaman yang
inklusif dan moderat. Ciri-ciri keberislaman seperti ini
adalah penyampaian dakwah
yang mengedepankan qaulan
karima (perkataan yang mulia),
qaulan ma’rufa (perkataan yang
baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan
(perkataan yang lemah lembut),
qaulan baligha (perkataan yang
berbekas dalam jiwa), dan qaulan
tsaqila (perkataan yang berat).
Inilah sikap-sikap keberagamaan sebagaimana diamanatkan
Alquran dan sunah.
Red: Heri Ruslan

Minggu, 22 Januari 2012

SUNNI DAN SYI'I BERSATU-MUNGKIN SAJA

REPUBLIKA.CO.ID,
Selama berabad-
abad lamanya,
hubungan antara Sunni dan Syiah terus diwarnai
perselisihan. Berbagai dialog untuk
mempertemukan kedua aliran
dalam Islam itu kerap dilakukan.
Namun, ketegangan di antara
kedua kubu itu tak juga kunjung mereda. Akankah kedua aliran besar dalam
Islam itu bersatu? Prof Dr Musthafa
ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk
Islamuna fi at-Taufiq Baina as-
Sunni wa asy-Syi’ah, berupaya
mencari benang merah yang bisa menautkan antara Sunni dan
Syiah. Tokoh kelahiran Troblus,
Lebanon pada 1924 itu mencoba
menghadirkan perspektif yang
berbeda dan mengkaji kedua
aliran itu secara fair, tanpa menghilangkan bobot dan nilai
akademik. Kitab ini mengkaji tentang
kemungkinan mempersatukan
antara dua kubu Sunni dan Syiah.
Ar-Rifa’i menyertakan beberapa
kajian penting dalam kitabnya. Ia
mengupas bahasan tentang sebab kemunculan faham keagamaan
Syiah, alasan penting bersatu,
varian sekte yang ada dalam
Syiah, serta prinsip-prinsip dan
faham keagamaan mereka. Bebarapa hal penting menjadi
perhatian ar-Rifa’i, di antaranya
perbedaan hukum nikah mut’ah,
konsep imamah, dan kemunculan
Imam al-Mahdi. Ulasan tentang
persoalan itu diuraikan dengan mengomparasikan pandangan
kedua belah pihak.
Kesimpulannya, diarahkan untuk
mencari persamaan yang
mempertemukan Sunni dan Syiah. Ar-Rifa’i menegaskan,
mempertemukan kedua kubu itu
bukanlah hal yang mustahil.
Perbedaan yang selama ini
mencuat, kata dia, pada
hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah
khilafiah yang dapat ditoleransi.
Pada tataran ijtihad dan tradisi
ilmiah lain, misalnya, terbuka
peluang Sunni-Syiah bertemu. Setidaknya, menurut dia,
pemandangan tentang sikap saling
menghormati dan toleransi
diteladankan oleh para ulama
Salaf. Imam Abu Hanifah mewakili
Sunni dan Imam Ja’far bin ash- Shadiq mewakili Syiah. Meski
berbeda mazhab dan cara
pandang, kedua tokoh tak saling
bermusuhan dan tidak saling
menafikan. Menurut ar-Rifa’i, keduanya justru
saling meningkatkan sikap hormat
dan menghormati. Dalam sebuah
kisah dijelaskan bagaimana kedua
pemimpin yang berbeda aliran itu
hidup berdampingan dalam ukhuwah Islamiah. Dikisahkan, Zaid bin Ali seorang
pemimpin kelompok Syiah
Zaidiyyah—menerima pelajaran
fikih dan dasar akidah dari Abu
Hanifah yang notabene tersohor
sebagai imam di kalangan Sunni. Demikian sebaliknya, Abu Hanifah
mempelajari hadis dan disiplin ilmu
lainnya dari Imam Ja’far ash-
Shadiq. Bahkan, Abu Hanifah berguru
langsung ke tokoh Syiah tersebut
selama dua tahun penuh. Pujian
pun kerap dilontarkan Abu Hanifah
ke gurunya itu. Tak pernah
bertemu guru lebih fakih dibanding Ja’far bin Muhammad.”
Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i
lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-
Taufiq Baina as-Sunni wa asy-
Syi'ah, perbedaan antara Sunni-
Syiah yang selama ini kerap
muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil. Perbedaan hanya terletak pada
persoalan non-prinsipil furuiyyah
yang dapat ditoleransi. Hal itu
didasari kuat oleh pemahaman
terhadap ijtihad sebagai upaya
memahami teks-teks agama. Ijtihad tersebut menggunakan
berbagai dasar dan sumber
hukum, antara lain, Alquran, hadis,
ijma (konsensus), dan qiyas
(analogi). Tak jauh berbeda dengan metode
yang akrab di kalangan Syiah.
Tradisi ijtihad tersebut populer di
kalangan umat hingga akhirnya
luntur seiring lemahnya
pemerintahan Dinasti Abbasiyah di pertengahan abad ke-4 Hijriah,
ketika dinasti tersebut dikuasai
oleh dinasti-dinasti yang terpecah
dan tersebar di sejumlah wilayah. Bersamaan dengan itu pula, ruh
ijtihad mulai melemah. Sebagian
umat kala itu, kembali memilih
taklid dibandingkan
mengembangkan budaya ijtihad.
Kondisi ini menjadi satu dari sekian faktor yang mengakibatkan
perbedaan antardua kubu tersebut
kian memanas. Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i
meyakini, faktor lain yang amat
kuat memengaruhi dan
memanaskan konflik antara Sunni
dan Syiah adalah kekuatan
eksternal yang datang dari imperalis Barat. Terutama politik dan konspirasi
devide et impera (politik memecah
belah) yang diterapkan oleh
protokol kaum Zionis yang hendak
memecah belah umat.
Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal
Muslim, digunakan sebagai
momen membenturkan dan
mengadu domba berbagai
kelompok itu.
Prof Dr Musthafa ar-
Rifa’i dalam kitab
bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-
Syi'ah, mengungkapkan, dalam
konteks kemanusiaan, setidaknya
ada beberapa hal yang
mempertemukan Sunni-Syiah.
Bahkan, prinsip itu menyatukan pula berbagai elemen dalam
bingkai kemanusian. Perspektif ini
—tidak boleh tidak—perlu
didudukkan sebagai landasan cara
pandang dan pola berpikir. Prinsip yang pertama, kata ar-Rifai,
persamaan asal mula. Islam
menyatakan manusia berasal dari
fitrah yang sama. Asal mula
mereka sama, yakni diciptakan
dari sari pati tanah. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan
kamu dan kepadanya Kami akan
mengembalikan kamu dan
daripadanya Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali
yang lain.” (QS Thaha [20]: 55). Prinsip selanjutnya yang mendasari
urgensi mempertemukan kedua
kubu tersebut adalah persamaan
nilai. Manusia mempunyai tempat
yang sama di sisi Allah. Titik yang
membedakan adalah kadar dan tingkat ketakwaan seseorang.
Tanpa itu, maka tak ada yang
patut menjadi jurang pemisah satu
sama lainnya. (QS al-Hujurat [49]:
130). Prinsip lain yang tak boleh
diabaikan pula adalah bagaimana
meletakkan pandangan
bahwasanya manusia akan
dikembalikan pada titik dan tempat
yang sama, yaitu tanah. Apabila kesemua prinsip tersebut dijadikan
sebagai mindset oleh berbagai
kelompok— tak kerkecuali Sunni
dan Syiah—maka paling tidak,
permulaan itu akan memunculkan
empati kebersamaan, rasa saling menghargai, dan toleransi satu
sama lain. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-
Nyalah kamu dikembalikan”. (QS
al-Qashash [28]: 88). Di era 40-an,
upaya mempersatukan kedua kubu tak sebatas wacana dan
isapan jempol belaka. Realisasi
gagasan tersebut secara formal
bahkan telah dilakukan oleh
institusi Al-Azhar, Mesir. Al-Azhar telah membentuk forum
yang diberi nama Jama’at at-
Taqrib Bain al-Madzahib al-
Islamiyyah. Lembaga itu berada di
bawah koordinasi langsung institusi
Al-Azhar. Lembaga tersebut diperuntukkan sebagai wadah
dialog, komunikasi, dan
perumusan berbagai persoalan
penting yang menyangkut aspek-
aspek yang bisa dipertemukan di
antara kedua kubu itu. Lembaga itu juga hadir untuk
memetakan dan memecahkan
sejumlah masalah yang
diperselisihkan keduanya.
Sejumlah nama penting pun
terlibat di dalamnya. Di antaranya, Syekh Abdu Majud Salim, Syekh
Mahmud Syaltut, Sayyid
Muhammad Taqiy al-Qammy, dan
Syekh Muhammad al-Madani. Aktivitas lembaga itu tergolong
efektif mengurai benang kusut
yang selama muncul di
permukaan. Semangat persatuan,
toleransi, dan mengesampingkan
perbedaan mendasari efektivitas lembaga itu. Hasilnya cukup
fantastis dan layak diapresiasi. Forum tersebut berhasil
merekomendasikan berbagai
kebijkan. Di level media
komunikasi dan publikasi, lembaga
itu memprakarsasi terbitnya
sebuah majalah, Al-Islam. Majalah tersebut menjadi corong efektif ke
masyarakat Muslim di Mesir guna
memberikan pemahaman tentang
pentingnya persatuan umat. Di sisi lain, forum ini berhasil
menghasilkan sebuah kebijakan
yang monumental. Forum
merekomendasikan untuk
memasukkan materi fikih
bermazhab Syiah ke dalam kurikulum di berbagai tingkatan
yang berada di bawah Al-Azhar.
Gagasan progresif yang belum
pernah ditempuh di masa itu. Kegiatan dan aktivitas yang
dilakukan Forum itu pada dasarnya
adalah sikap toleransi dan
kedewasaan yang pernah
diteladankan oleh para salaf. Abu
Hanifah di Irak dan Imam Malik di Madinah, dua tokoh utama dalam
rancang bangun ilmu fikih di
kalangan Sunni, tak segan-segan
belajar dan mengambil pendapat
dari tokoh Syiah, Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq salah satunya. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh
Imam Syafi’i dan Ahmad Bin
Hanbal. Walaupun keduanya tak
bertemu langsung dengan Imam
Ja’far lantaran berbeda masa,
paling tidak mereka berdua sering bertemu dan berdiskusi dengan
beberapa murid Ja’far. Lagi-lagi,
menurut ar-Rafi’i, perpecahan
yang kini meradang antara Sunni
dan Syiah lebih diakibatkan oleh
faktor eskternal. Jadi bukan perpecahan faksi
dalam akidah dan internal umat.
Pengaruh politik yang sporadis dan
strategi pecah belah umat oleh
para musuh Islam terutama Zionis
merupakan faktor yang membuat Syiah dan Sunni membuat jarak.
Mereka (Zionis) menginginkan kita
berseteru,’’ ujar ar-Rifai’i. Bukankah kedua aliran baik Sunni
maupun Syiah diikat oleh
persaudaran yang berlandaskan
keimanan kepada Allah SWT?
Lalu mengapa harus berseteru dan
berpecah belah? Red: Heri Ruslan
Rep: Nashih Nashrullah

Sabtu, 21 Januari 2012

ORIENTALISME

Menguak Jejak Orientalisme di
Dunia Islam REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Heri Ruslan Pada abad pertengahan, dunia Islam sedang
mengalami era keemasan. Di
zaman itu – abad ke-7 hingga 13
M – peradaban Islam menguasai
dunia. Kota-kota Islam, seperti
Baghdad di Irak, serta Andalusia (Spanyol Islam) menjadi lautan
ilmu pengetahuan dan peradaban.
Berbagai ilmu pengetahuan
muncul dan berkembang. Kemajuan dunia Islam dalam
berbagai bidang yang amat pesat
itu sangat kontras dengan kondisi
negara-negara yang ada di Barat.
Kemajuan peradaban di dunia
Islam akhirnya memberi pengaruh bagi kehidupan bangsa Eropa.
Masyarakat Eropa yang menjadi
penduduk asli Andalusia
menggunakan bahasa Arab dan
adat istiadat Arab dalam
kehidupan sehari-hari. ‘’Pada masa itu, orang-orang
Eropa pun berlomba-lomba
bersekolah di perguruan-perguruan
tinggi Islam,’’ tulis Ensiklopedi
Islam. Menurut Dr Qasim
Assamurai dalam Bukti-bukti Kebohongan Orientalis,
masyarakat Eropa terhubung
dengan pemikiran Islam melalui
Spanyol, utamanya Toledo dan
lewat Sicilia, Italia. Saking besarnya pengaruh
pemikiran dan peradaban Islam,
tak sedikit raja-raja Spanyol yang
hanya menguasai bahasa Arab.
Sebut saja, Raja Peter I (wafat
1104 M) dan Raja Aragon. Bahkan, di saat menduduki tahta,
papar Ensikolpedi Islam, Raja
Alonso IV mencetak uang dengan
memakai bahasa Arab. Di Sicilia pengaruh pemikiran dan
peradaban Islam lebih besar lagi.
‘’Raja-raja Normandia yang
memerintah sebagian besar Eropa
dari pangkalan mereka di Sicilia
meramaikan istana mereka dengan mengundang begitu
banyak ilmuwan Muslim,’’ papar Dr
Qasim. Raja Roger I, misalnya,
mengumpulkan para filsuf, dokter,
dan ahli-ahli Islam dari berbagai
disiplin ilmu. Bahkan, Raja Roger II
menggunakan pakaian Arab
sebagai pakaian kebesarannnya.
Pengaruh Islam pada zaman itu
juga masuk ke gereja-gereja,
dengan munculnya ukiran dan tulisan-tulisan Arab di dinding-
dindingnya. Bahkan, tren mode
pakaian, wanita-wanita Kristen di
Sicilia lebih meniru busana wanita
Islam. ‘’Raja-raja Normandia telah
menjadi emir-emir Timur yang
dikelilingi para penyair dan filosof
seperti para raja dan sultan
Muslim,’’ tulis Hugh Trover Rober
dalam The Rise of Christian Europe. Bahkan, kata Rober,
bahasa Arab menjadi bahasa resmi
dalam catatan administrasinya. Malah Raja Frederik II yang
dikenal sebagai ‘’Sultan Sisilian
yang tak dibaptis’’ mulai
mendirikan pusat penerjemahan.
‘’Ia menugaskan Michael Scott dan
yang lainnya untuk menerjemahkan buku-buku
berbahasa Arab ke dalam bahasa
Latin,’’ papar Rober. Bahkan, di
Sicilia dibangun Universitas Napoli
dan menjadikan buku-buku yang
ditulis para ilmuwan Islam sebagai rujukan utama. Jika menilik pada pembagian
periode tiga munculnya
orientalisme, yang dimulai pada
masa sebelum meletusnya Perang
Salib, pada zaman itulah
orientalisme sudah mulai berlangsung. Orientalisme pada
periode sebelum Perang Salib juga
dibuktikan dengan banyaknya
pelajar dari berbagai penjuru
Eropa, seperti Prancis, Inggris,
Jerman, dan Italia yang datang untuk belajar ke dunia Islam. Salah satu tokoh Katholik yang
menuntut ilmu di dunia Islam
adalah Paus Silvester II ( menjadi
Paus dari 999-1003). Pada waktu
mudanya, Ia bernama Gerbert
d’Aurillac. Ia sempat belajar ke Andalusia. Selain itu, ada pula
Adelard dari Bath (1107-1135)
yang juga belajar di Andalusia dan
Sicilia yang kemudian menjadi
guru Pengeran Henry dan kelak
menjadi raja di Inggris. ‘’Pada zaman inilah muncul
orientalisme di kalangan
masyarakat Barat,’’ tulis
Ensiklopedi Islam. Di era itu,
bahasa Arab menjadi bahasa yang
harus dikuasai dan dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat.
Sejumlah perguruan tinggi di
Eropa pun memasukan bahasa
Arab sebagai bagian dari
kurikulum, sehingga wajib
diajarkan. Perguruan tinggi yang
mengajarkan bahasa Arab itu
antara lain, Bologna di Italia pada
1076 M. Chartres di Prancis tahun
1117, Oxford di Inggris tahun
1167, dan paris pada tahun 1170. Masuknya pelajaran bahasa Arab
dalam kurikulum telah melahirkan
sejumlah penerjemah karya-karya
dari dunia Islam ke dalam bahasa
Latin, seperti Constantinus
Africanus (wafat 1087), dan Gerard Cremonia (wafat 1187 M). Pada fase pertama ini, orientalisme
bertujuan untuk memindahkan
ilmu pengetahuan dan filasafat
dari dunia Islam ke Eropa. Menurut
Ensiklopedi Islam, ilmu
pengetahuan yang berkembang di dunia Islam itu kemudian diambil
sebagaimana adanya. Red: Heri Ruslan

Kamis, 12 Januari 2012

muallaf-CRISTINA MORRA

Kuucapkan
Syahadat di Dalam Pesawat. REPUBLIKA.CO.ID,
Nama saya Christina
Morra dan dilahirkan
dalam sebuah keluarga Kristen. Saya mempunyai
tiga saudara lelaki dan tiga
saudara perempuan. Kami
berhenti datang ke gereja ketika
usia saya enam tahun. Kami
percaya bahwa lebih baik membaca Injil di rumah karena
kami tidak dapat menemukan
gereja dengan doktrin bisa kami
patuhi, makanya lebih baik kami di
rumah saja. Saya yakin bahwa
sikap agamis keluargalah yang menyebabkan saya memeluk
Islam. Saya juga yakin bahwa
perjalanan menuju Islam bermula
ketika saya baru lahir. Salah satu
perkara yang saya pelajari dalam
Islam ialah konsep fitrah. Artinya setiap anak yang lahir dalam
keadaan suci, bebas dari sebarang
dosa. Oleh karenanya, kita bisa
memanggil anak atau bayi sebagai
Muslim. Hanya ibu bapaknyalah yang
mengajarnya untuk menjadi
seorang Yahudi atau Kristen. Saya
begitu tertarik sekali dengan
kepercayaan Islam ini karena saya
menyetujuinya sepenuh hati. Fakta menyebutkan bahwa Muslim
berusaha untuk kembali dalam
keadaan suci dan menjadi orang
terbaik bisa menjadi benar pada
pandangan saya. Saya mulai mengenal Islam dari
beberapa orang rekan Muslim saya
di internet. Tidak semua teman
saya Muslim, tetapi Alhamdulillah
saya punya beberapa orang teman
Muslim yang baik. Sebelumnya memang saya tidak mengetahui
apa-apa. Hanya, saya teringat
pada seorang Muslim yang bekerja
dengan ayah saya. Waktu itu saya
belajar mengucapkan
"Assalamualaikum". Saya tertarik dengan orang ini
yang kelihatan lembut dan damai
serta berpakaian serba putih.
Perlahan-lahan saya baru bahwa
memberi salam kepada anak-anak
merupakan satu perbuatan baik. Saya pernah menulis satu artikel
berkaitan dengan kecenderungan
dan minat saya untuk belajar
tentang berbagai budaya dan
kemanusiaan. Ketika itu saya
belajar di sekolah tinggi. Artikel itu mendapat perhatian dari guru
pembimbing kami. Guru bahasa
Inggris saya turut memuji artikel
tersebut. Ketika masa berlalu,
hubungan saya dengan umat
Islam juga semakin meningkat. Saya menjadi lebih tertarik untuk
belajar mengenai Islam. Ketika kuliah, saya mengambil
mata kuliah agama. Sayangnya,
materi yang disampaikan tidak
banyak memberikan informasi
tentang Islam. Saya merasa yang
harus dipelajari adalah Islam. Oleh karena itu, saya mengambil mata
kuliah Islam klasik. Saya juga turut
belajar bahasa Persia karena
begitu minat untuk mempelajari
bahasa. Asik dengan minat yang
saya geluti membuat saya memutuskan tidak melanjutkan
kuliah bidang arsitektur. Teman baik saya, Ehsan, seorang
yang saya kenal lewat internet,
adalah teman baik untuk belajar
Alquran. Saya banyak sekali
menanyakan persoalan berkaitan
Islam kepadanya. Dia datang dari Iran untuk menemui saya di
Amerika. Kami bertemu di Texas.
Saya juga bertemu dengan ramai
warga Iran di sana. Kemudian saya
kembali ke
universitas, pada saat itulah saya memasuki kelas
Klasik Islam. Saya tetap
melanjutkan pembahasan saya
tentang Islam bersama Ehsan.
Saya benar-benar puas hati
dengan pembelajaran Islam saya. Karena saya mengambil studi
bahasa. Bahasa Arab merupakan
satu hal yang amat penting buat
saya. Saya juga mendapati bahwa
dalam Islam, tidak seperti Kristen,
kita haruslah berusaha untuk
melakukan perbuatan-perbuatan
baik demi Allah. Melakukan
perbuatan yang diridhai oleh-Nya. Walaupun secara alami kita
bukanlah manusia sempurna dan
tidak bisa menjamin diri sendiri
untuk bisa masuk surga. Lalu
mengapa harus menghukumi
orang lain? Agama yang saya anut adalah sebuah agama dimana
sebagai manusia biasa, kita diberi
kesempatan untuk meminta maaf
dan bertobat. Seorang pelacur bisa
masuk surga karena memberi air
pada seekor anjing, sebuah perbuatan yang kelihatan amat
mudah tetapi diridhai Allah. Kesimpulannya, Islam memberi
jawaban atas segala persoalan
yang menjadi tanda tanya bagi
saya selama ini. Dahulu saya
pernah terpikir memiliki agama
yang sempurna. Saya percaya bahwa manusia harus memiliki
agama, bahwa Tuhan
berhubungan dengan mereka dan
tidak meninggalkan mereka. Saya
menemui konsep tersebut dalam
Islam, makanya saya bisa memberikan kepercayaan saya
pada agama ini dan segala yang
saya temukan adalah benar dan
sempurna. Tidak lama kemudian, saya pergi
ke Texas dan Ehsan memberi
dukungan untuk saya
menyebutkan kalimat syahadah.
Dia mengajarkan saya cara
menunaikan shalat, sebelumnya saya sudah melihat dia
menunaikan shalat. Shalat adalah
sebuah manifestasi yang indah.
Bagaimana pun saya masih
berpendapat saya harus belajar
lebih banyak lagi. Islam adalah sebuah agama yang luas dan saya
ingin sekali memeluk agama Islam
pada hari yang istimewa. Ketika saya melakukan
penerbangan dari Texas pulang ke
Tennessee, pesawat yang saya
naiki mengalami gangguan
sebelum memulai penerbangan.
Saya terpikir akan kematian yang bisa datang tiba-tiba. Jika saya
mati menghadap Tuhan, saya
belum juga menjadi seorang
Muslimah. Saya tidak ingin perkara
tersebut terjadi. Maka saya pun
memikirkan untuk mengucap syahadat dan Allah SWT sebagai
saksinya. Kemudian, saya menyebut
kembali kalimat syahadat di
hadapan Ehsan sebagai saksi. Itu
bertepatan dengan hari lahir Nabi
Muhammad Saw . Dahulu saya
merasa bingung dengan masa depan saya, apa yang akan saya
lakukan, apa akan jadi dengan diri
saya. Ketika mengenang kembali
hal tersebut, saya tahu bahwa
sebenarnya saya belum menemui
jalan yang membawa saya kepada Islam. Insya Allah Allah akan
membimbing saya dan membuka
jalan untuk saya mempelajari Islam
sekarang dan disepanjang
kehidupan saya, sehingga saya
dapat pula mengembangkannya. Alhamdulillah Islam sebenarnya
adalah indah, jauh dari rasisme
dan kebencian. Islam merupakan
bimbingan sempurna yang dapat
memenuhi keperluan individu dan
masyarakat. Saya benar-benar percaya bahwa seseorang itu
memerlukan Islam untuk
menjadikan dunia ini tempat yang
lebih baik dan membentuk sebuah
tempat yang lebih kokoh. Islam
bukan untuk diperdebatkan dan mencari perhatian. Sejatinya,
mengamalkan Islam dengan benar
merupakan cara terbaik untuk
semua manusia di alam sejagat ini.
Alhamdulillah, saya bertemu
orang-orang sedemikian dan insya Allah saya akan berusaha untuk
menjadi orang seperti itu demi
Allah. Red: Endah Hapsari

Rabu, 11 Januari 2012

muallaf-ALICYA BROWN

Alicia Brown: Bahagia Menjadi
Muslimah REPUBLIKA.CO.ID, Alicia Brown
adalah seorang wanita muda asal
Texas, Amerika yang dibesarkan
dari keluarga Kristen. Kedua orang
tuanya tidak pernah membimbing
agama secara baik kepadanya. “Aku bukan berasal dari keluarga
yang religius,” ungkapnya. Ketika
kecil, kedua orang tuanya
memang membaptis dirinya secara
Kristen. Tetapi ia dan keluarga
sangat jarang untuk beribadah dan pergi ke gereja. Kondisi keluarga Alicia diperparah
ketika kedua orang tuanya
bercerai diusianya yang baru 10
tahun. Hingga usianya 17 tahun,
Alicia dan adiknya tinggal bersama
Ayahnya. Ketika hidup bersama sang Ayah, ia pun selalu menerima
perlakuan kasar, namun tidak
pada adiknya. Itu dikarenakan,
sang Ayah selalu mengingat wajah
Ibunya ketika memandang Alicia
dan kebencian akan sang istri pun muncul. Sejak menerima kekerasan itu,
Alicia pun semakin membenci
Ayahnya dan mencari pelarian.
“Aku hanya mau melakukan yang
menurutku menyenangkan,”
ungkapnya. Ia pun menggunakan narkotika, sering mabuk-mabukan
dan berhubungan seks, namun
ternyata semua itu tidak pernah
memenuhi kepuasan diri dan
emosionalnya. Sampai akhirnya ia
memutuskan untuk tinggal bersama sang Ibu ketika ia
berumur 17 tahun. Ia berharap dengan tinggal
bersama Ibu, kehidupannya pun
berubah menjadi lebih baik.
Namun kenyataan berkata lain,
ternyata pola hidup Alicia
bertambah buruk. Alicia beberapa kali berhubungan intim dengan
sahabat prianya di SMA, yang
akhirnya membawa ia hamil diluar
nikah di usianya yang masih
sangat belia. Setelah putri
pertamanya lahir, ia masih menjalani masa-masa terparah
bersam pasangan prianya. Bersama pasangan hidupnya pula,
ia mengkonsumsi narkoba dan
mariyuana bahkan kokain. Setelah
tiga bulan menjalani hidup seperti
itu, akhirnya ia memutuskan harus
mengakhiri semua ini. Dan Alicia pun meninggalkan pasangan
prianya, keputusan itu ia ambil
setelah pria itu tidak mau berubah
dan berhenti dengan kebiasaan
buruknya. “Saya pikir dia juga mau
berubah, namun ternyata aku salah,” ungkapnya. Kondisi ini diperparah setelah
putrinya didiagnosa mengalami
penyakit sindrom Guillain-Barre,
yang menyebabkan kelumpuhan
otot. Akhirnya Alicia pun
membawa putrinya ke Rumah Sakit (RS). Dari sinilah ia mulai
sadar akan kehidupan buruknya
selama ini, dan berjanji akan
memperbaiki jalan hidupnya.
Alicia mulai
bersentuhan dengan Islam, ketika
berkenalan dengan Hayat di
rumah sakit. Ia mulai
memberanikan bertanya tentang
agama yang sejak kecil tidak pernah ia pahami. Dari Hayat
inilah ia pun mulai mengenal Islam
secara lebih baik. Sebelumnya ia pun memiliki
persepsi yang negatif tentang
Islam, meski ia dibesarkan dalam
Kristen yang tidak begitu religius.
Ia meyakini paham Islam sangat
bertentangan dengan Kristen. Ia meyakini Yesus mati di kayu salib
dan sebagai anak Allah, namun
tidak dalam Islam. ”Berkat pertanyaanku ke beberapa
teman Muslim akan agama.
Perlahan kebingunganku terhadap
agama pun mulai terjawab,”
ungkap Alicia. Seperti pertanyaan
mengapa Yesus harus mati di kayu salib untuk dosa manusia? atau
mengapa Tuhan tidak
mengampuni saja dosa manusia
tanpa harus Yesus disalib?
Mengapa ini harus terjadi, padahal
Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Kuat? Akhirnya Alicia pun memulai
membaca Alkitab untuk
memperjelas semua keyakinan
Kristennya. Namun ia tidak juga
mendapatkan kepuasan batin.
Karena dalam Alkitab sendiri banyak versi terjemahan yang
berbeda. Bahkan ketika ia
berkunjung ke satu gereja dengan
gereja lain, Ia mendapati berbagai
versi Alkitab dari berbagai gereja.
“Itu semakin membuatku bingung,” ujarnya. Alicia sempat iri ketika melihat
Islam yang hanya memegang satu
versi kitab suci Al-Quran. Dan
hampir semua orang Islam
memahami konsep agamanya
sesuai Al-Quran. Membaca terjemahan dalam bahasa inggris
sama persis dengan apa yang
disampaikan dengan bahasa arab.
Dan yang mengherankan baginya,
ternyata konsep agama Islam dan
ketuhanannya lebih mudah ia pahami. Inilah yang membuatnya
semakin tertarik terhadap Islam. Alicia pun memberanikan
memeluk agama Islam di akhir
tahun 2011 dengan bantuan
Hana, ibunya Hayat. Hana pun
menunjukkan beberapa ayat
didalam Al-Quran untuk benar- benar meyakini akan keputusanku.
Diantaranya tentang posisi Yesus,
yang mengatakan bahwa ia bukan
Tuhan namun hanya nabi utusan
Allah. Dan di akhir ayat tersebut ia
membaca terjemahan ‘Untuk orang yang mencari tanda, ini
adalah tanda bagi orang yang
berfikir.’ Kemudian Hana mengatakan, ''ini
adalah tanda untukmu Alicia.''
“Bagi saya itu perasaan yang luar
biasa menghampiri saya, dan
seketika itupula saya menangis,”
ujarnya. Ini adalah persis seperti apa yang ia cari selama ini, dan ia
meyakini Tuhan memberikan
Islam, karena ini adalah sesuatu
yang spesial. Itu terbukti dengan
perasaan yan ia alami yang benar-
benar membuatnya bahagia, ia tidak pernah merasakan
kebahagian seperti ini
sebelumnya. “Aku tidak pernah
sebahagia ini sampai ketika aku
memeluk Islam” jelasnya. Alicia merasa benar-benar seperti
memulai kehidupan yang baru. Ia
mengibaratkan, seperti
melepaskan beban berat yang
selama ini telah dipikulnya. Ia
merasakan lebih lapang dan mudah serta tidak perlu khawatir
tentang berbagai hal. “Insya Allah,
saya telah berkomitmen dengan
Islam dan semua hal yang terjadi
dalam hidup saya sebelumnya
tidaklah penting lagi,” paparnya. Red: Heri Ruslan
Rep: amri amrullah

mu'allaf YUSUF DARBESYE

Mualaf Yusuf Derbeshyre: Biografi
Nabi Muhammad Membuatku
Memilih Islam (1) REPUBLIKA.CO.ID, Saya
bernama, Yusuf Derbeshyre.
Sebelum menjadi Muslim, saya
adalah apa yang Anda bisa
mengklasifikasikan sebagai "tipe
pemuda Inggris pada umumnya".Saya biasa pergi
minum-minum pada malam Sabtu,
dan semua hal semacam
itu. Namun, semuanya berubah
sekitar lima tahun yang lalu, ketika
saya pergi berlibur ke Yunani. Biasanya, jika kita ingin berlibur,
kita akan punya banyak buku
dikemas dalam ransel untuk
dibaca. Maka, saya pun pergi ke
sebuah toko buku dan mencari
sebuah buku yang bagus. Ternyata, setelah melihat-
lihat di toko buku tersebut, dan
saya tidak bisa menemukan apa-
apa yang saya anggap menarik.
Saya masih memakai ransel di
punggung saya, dan ketika saya berbalik untuk pergi, saya
mengetuk rak buku dan semua
buku jatuh. Karena malu, saya mengambil
semua buku, termasuk sebuah
buku yang ditulis Barnaby
Rogerson yang menuliskan
tentang biografi Nabi Muhammad. Saya membaca halaman pertama
dan isinya menarik. Saya
membaca halaman kedua.
Membawanya ke meja kasir,
membelinya dan membawanya
berlibur dengan saya. Setelah membaca buku itu, saya
pikir "Ya saya ingin belajar lebih
banyak." Ketika saya kembali dari liburan,
saya mulai pergi ke masjid dekat
rumah. Di sana, saya mengungkap
niat untuk belajar lebih banyak
tentang Islam. Dan Imam, yang
membantu saya membaca syahadat, mengatakan "Nah,
sejujurnya, cara terbaik untuk
memahami Islam adalah menjadi
seorang Muslim." Saya tidak berpikir dua kali tentang
hal itu. Saya langsung bersaksi
mengucap syahadat di sana dan
saat itu juga. Sebagai
seseorang yang baru menjadi
Muslim, Anda menemukan bahwa
Anda semacam memiliki
kesamaan dari para sahabat Nabi.
Ini karena mereka semua juga seorang mualaf. Dan, saya
merasakan adanya kesamaan
dengan Hamzah, seorang tentara
Muslim. Sebelum menjadi Muslim, ia sering
minum minuman keras dan hidup
yang keras, serta ia sangat
menikmati hidupnya. Ternyata, dia
lebih menikmati hidupnya dengan
penuh setelah ia menjadi seorang Muslim. Saya sangat memiliki
kesamaan dengannya, dan
merasa ada hubungan di antara
kita. Kebersamaan kami terus berlanjut
hingga saya memutuskan untuk
berhaji. Ketika itu saya sempat
mendatangi tempat terjadinya
Perang Uhud. Ketika itulah saya
merasakan dorongan emosional yang kuat. Ketika turun dari bus dan berjalan,
rasanya saya seperti sedang
berjalan melalui ketenangan. Saya
merasa sangat emosional, dan air
mata hanya mengalir di wajah
saya, dan saya tidak bisa menghentikan mereka, tidak tahu
mengapa. Jadi saya terus berjalan, dan ketika
saya turun di jalanan berpasir, saya
merasakan kesedihan saya sirna.
Aneh, pikir saya. Tapi, saya terus
berjalan menuju pemakaman. Aku
berdoa untuk para tentara saat Perang Uhud, termasuk untuk
Hamzah. Ketika waktu pergi tiba dan
sedang berjalan melintasi jalanan
berpasir, perasaan itu muncul
lagi. Saya hanya bisa menangis.
Seseorang bertanya kepada saya
"Ada apa?" Dan saya mengatakan semuanya kepada dia, petugas
penerjemah rombongan kami. Dia mengatakan, "Ketika Nabi
kami tahu apa yang terjadi kepada
pamannya ia menangis, dan
hanya menangis dan menangis." Saya berkata "Saya merasa di sini,
di dada saya, untuk Hamzah dan
saya merasa terpukul dan terharu
sepenuhnya.'' Ketika saya pulang, saya berkata
pada istri saya, yang sedang hamil
saat itu."Jika kita memiliki seorang
putra, saya ingin memanggilnya
Hamzah.'' Rupanya, kami mendapatkan
seorang gadis kecil. Jadi sebelum
saya pergi menemui ibuku, saya
melihat di internet untuk melihat
apakah ada perempuan yang
memiliki hubungan dengan Hamzah, agar dapat memberinya
nama perempuan tersebut. Sayang, saya tidak bisa
menemukan sesuatu. Istri saya
mengatakan "Tanyakan ibumu".
Jadi saya bertanya pada ibuku dan
ibuku mulai mencari. Beberapa
hari kemudian, dia bilang dia mencari melalui internet dan
menemukan tiga nama untuk kita.
Yang paling kami suka adalah
Safiyya. Jadi kami berpikir
"Baiklah, kita akan memberinya
nama Safiyya". Beberapa bulan setelah kami
melakukan itu, saya merasa
sangat tertekan dan frustrasi. Saya
punya buku dan membaca
tentang kisah setelah Uhud. Di
lembar awal, buku itu hanya menceritakan tentang proses
kematian dan penguburan para
tentara Muslim dan Hamzah
sendiri. Kemudian buku itu mulai
berbicara tentang adik Hamzah
yang datang dengan dua potong kain. Dan, nama adik Hamzah
adalah Safiyya! Red: Endah Hapsari
Rep: aghia khumaesi