Minggu, 22 Januari 2012

SUNNI DAN SYI'I BERSATU-MUNGKIN SAJA

REPUBLIKA.CO.ID,
Selama berabad-
abad lamanya,
hubungan antara Sunni dan Syiah terus diwarnai
perselisihan. Berbagai dialog untuk
mempertemukan kedua aliran
dalam Islam itu kerap dilakukan.
Namun, ketegangan di antara
kedua kubu itu tak juga kunjung mereda. Akankah kedua aliran besar dalam
Islam itu bersatu? Prof Dr Musthafa
ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk
Islamuna fi at-Taufiq Baina as-
Sunni wa asy-Syi’ah, berupaya
mencari benang merah yang bisa menautkan antara Sunni dan
Syiah. Tokoh kelahiran Troblus,
Lebanon pada 1924 itu mencoba
menghadirkan perspektif yang
berbeda dan mengkaji kedua
aliran itu secara fair, tanpa menghilangkan bobot dan nilai
akademik. Kitab ini mengkaji tentang
kemungkinan mempersatukan
antara dua kubu Sunni dan Syiah.
Ar-Rifa’i menyertakan beberapa
kajian penting dalam kitabnya. Ia
mengupas bahasan tentang sebab kemunculan faham keagamaan
Syiah, alasan penting bersatu,
varian sekte yang ada dalam
Syiah, serta prinsip-prinsip dan
faham keagamaan mereka. Bebarapa hal penting menjadi
perhatian ar-Rifa’i, di antaranya
perbedaan hukum nikah mut’ah,
konsep imamah, dan kemunculan
Imam al-Mahdi. Ulasan tentang
persoalan itu diuraikan dengan mengomparasikan pandangan
kedua belah pihak.
Kesimpulannya, diarahkan untuk
mencari persamaan yang
mempertemukan Sunni dan Syiah. Ar-Rifa’i menegaskan,
mempertemukan kedua kubu itu
bukanlah hal yang mustahil.
Perbedaan yang selama ini
mencuat, kata dia, pada
hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah
khilafiah yang dapat ditoleransi.
Pada tataran ijtihad dan tradisi
ilmiah lain, misalnya, terbuka
peluang Sunni-Syiah bertemu. Setidaknya, menurut dia,
pemandangan tentang sikap saling
menghormati dan toleransi
diteladankan oleh para ulama
Salaf. Imam Abu Hanifah mewakili
Sunni dan Imam Ja’far bin ash- Shadiq mewakili Syiah. Meski
berbeda mazhab dan cara
pandang, kedua tokoh tak saling
bermusuhan dan tidak saling
menafikan. Menurut ar-Rifa’i, keduanya justru
saling meningkatkan sikap hormat
dan menghormati. Dalam sebuah
kisah dijelaskan bagaimana kedua
pemimpin yang berbeda aliran itu
hidup berdampingan dalam ukhuwah Islamiah. Dikisahkan, Zaid bin Ali seorang
pemimpin kelompok Syiah
Zaidiyyah—menerima pelajaran
fikih dan dasar akidah dari Abu
Hanifah yang notabene tersohor
sebagai imam di kalangan Sunni. Demikian sebaliknya, Abu Hanifah
mempelajari hadis dan disiplin ilmu
lainnya dari Imam Ja’far ash-
Shadiq. Bahkan, Abu Hanifah berguru
langsung ke tokoh Syiah tersebut
selama dua tahun penuh. Pujian
pun kerap dilontarkan Abu Hanifah
ke gurunya itu. Tak pernah
bertemu guru lebih fakih dibanding Ja’far bin Muhammad.”
Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i
lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-
Taufiq Baina as-Sunni wa asy-
Syi'ah, perbedaan antara Sunni-
Syiah yang selama ini kerap
muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil. Perbedaan hanya terletak pada
persoalan non-prinsipil furuiyyah
yang dapat ditoleransi. Hal itu
didasari kuat oleh pemahaman
terhadap ijtihad sebagai upaya
memahami teks-teks agama. Ijtihad tersebut menggunakan
berbagai dasar dan sumber
hukum, antara lain, Alquran, hadis,
ijma (konsensus), dan qiyas
(analogi). Tak jauh berbeda dengan metode
yang akrab di kalangan Syiah.
Tradisi ijtihad tersebut populer di
kalangan umat hingga akhirnya
luntur seiring lemahnya
pemerintahan Dinasti Abbasiyah di pertengahan abad ke-4 Hijriah,
ketika dinasti tersebut dikuasai
oleh dinasti-dinasti yang terpecah
dan tersebar di sejumlah wilayah. Bersamaan dengan itu pula, ruh
ijtihad mulai melemah. Sebagian
umat kala itu, kembali memilih
taklid dibandingkan
mengembangkan budaya ijtihad.
Kondisi ini menjadi satu dari sekian faktor yang mengakibatkan
perbedaan antardua kubu tersebut
kian memanas. Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i
meyakini, faktor lain yang amat
kuat memengaruhi dan
memanaskan konflik antara Sunni
dan Syiah adalah kekuatan
eksternal yang datang dari imperalis Barat. Terutama politik dan konspirasi
devide et impera (politik memecah
belah) yang diterapkan oleh
protokol kaum Zionis yang hendak
memecah belah umat.
Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal
Muslim, digunakan sebagai
momen membenturkan dan
mengadu domba berbagai
kelompok itu.
Prof Dr Musthafa ar-
Rifa’i dalam kitab
bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-
Syi'ah, mengungkapkan, dalam
konteks kemanusiaan, setidaknya
ada beberapa hal yang
mempertemukan Sunni-Syiah.
Bahkan, prinsip itu menyatukan pula berbagai elemen dalam
bingkai kemanusian. Perspektif ini
—tidak boleh tidak—perlu
didudukkan sebagai landasan cara
pandang dan pola berpikir. Prinsip yang pertama, kata ar-Rifai,
persamaan asal mula. Islam
menyatakan manusia berasal dari
fitrah yang sama. Asal mula
mereka sama, yakni diciptakan
dari sari pati tanah. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan
kamu dan kepadanya Kami akan
mengembalikan kamu dan
daripadanya Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali
yang lain.” (QS Thaha [20]: 55). Prinsip selanjutnya yang mendasari
urgensi mempertemukan kedua
kubu tersebut adalah persamaan
nilai. Manusia mempunyai tempat
yang sama di sisi Allah. Titik yang
membedakan adalah kadar dan tingkat ketakwaan seseorang.
Tanpa itu, maka tak ada yang
patut menjadi jurang pemisah satu
sama lainnya. (QS al-Hujurat [49]:
130). Prinsip lain yang tak boleh
diabaikan pula adalah bagaimana
meletakkan pandangan
bahwasanya manusia akan
dikembalikan pada titik dan tempat
yang sama, yaitu tanah. Apabila kesemua prinsip tersebut dijadikan
sebagai mindset oleh berbagai
kelompok— tak kerkecuali Sunni
dan Syiah—maka paling tidak,
permulaan itu akan memunculkan
empati kebersamaan, rasa saling menghargai, dan toleransi satu
sama lain. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-
Nyalah kamu dikembalikan”. (QS
al-Qashash [28]: 88). Di era 40-an,
upaya mempersatukan kedua kubu tak sebatas wacana dan
isapan jempol belaka. Realisasi
gagasan tersebut secara formal
bahkan telah dilakukan oleh
institusi Al-Azhar, Mesir. Al-Azhar telah membentuk forum
yang diberi nama Jama’at at-
Taqrib Bain al-Madzahib al-
Islamiyyah. Lembaga itu berada di
bawah koordinasi langsung institusi
Al-Azhar. Lembaga tersebut diperuntukkan sebagai wadah
dialog, komunikasi, dan
perumusan berbagai persoalan
penting yang menyangkut aspek-
aspek yang bisa dipertemukan di
antara kedua kubu itu. Lembaga itu juga hadir untuk
memetakan dan memecahkan
sejumlah masalah yang
diperselisihkan keduanya.
Sejumlah nama penting pun
terlibat di dalamnya. Di antaranya, Syekh Abdu Majud Salim, Syekh
Mahmud Syaltut, Sayyid
Muhammad Taqiy al-Qammy, dan
Syekh Muhammad al-Madani. Aktivitas lembaga itu tergolong
efektif mengurai benang kusut
yang selama muncul di
permukaan. Semangat persatuan,
toleransi, dan mengesampingkan
perbedaan mendasari efektivitas lembaga itu. Hasilnya cukup
fantastis dan layak diapresiasi. Forum tersebut berhasil
merekomendasikan berbagai
kebijkan. Di level media
komunikasi dan publikasi, lembaga
itu memprakarsasi terbitnya
sebuah majalah, Al-Islam. Majalah tersebut menjadi corong efektif ke
masyarakat Muslim di Mesir guna
memberikan pemahaman tentang
pentingnya persatuan umat. Di sisi lain, forum ini berhasil
menghasilkan sebuah kebijakan
yang monumental. Forum
merekomendasikan untuk
memasukkan materi fikih
bermazhab Syiah ke dalam kurikulum di berbagai tingkatan
yang berada di bawah Al-Azhar.
Gagasan progresif yang belum
pernah ditempuh di masa itu. Kegiatan dan aktivitas yang
dilakukan Forum itu pada dasarnya
adalah sikap toleransi dan
kedewasaan yang pernah
diteladankan oleh para salaf. Abu
Hanifah di Irak dan Imam Malik di Madinah, dua tokoh utama dalam
rancang bangun ilmu fikih di
kalangan Sunni, tak segan-segan
belajar dan mengambil pendapat
dari tokoh Syiah, Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq salah satunya. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh
Imam Syafi’i dan Ahmad Bin
Hanbal. Walaupun keduanya tak
bertemu langsung dengan Imam
Ja’far lantaran berbeda masa,
paling tidak mereka berdua sering bertemu dan berdiskusi dengan
beberapa murid Ja’far. Lagi-lagi,
menurut ar-Rafi’i, perpecahan
yang kini meradang antara Sunni
dan Syiah lebih diakibatkan oleh
faktor eskternal. Jadi bukan perpecahan faksi
dalam akidah dan internal umat.
Pengaruh politik yang sporadis dan
strategi pecah belah umat oleh
para musuh Islam terutama Zionis
merupakan faktor yang membuat Syiah dan Sunni membuat jarak.
Mereka (Zionis) menginginkan kita
berseteru,’’ ujar ar-Rifai’i. Bukankah kedua aliran baik Sunni
maupun Syiah diikat oleh
persaudaran yang berlandaskan
keimanan kepada Allah SWT?
Lalu mengapa harus berseteru dan
berpecah belah? Red: Heri Ruslan
Rep: Nashih Nashrullah